Minggu, 21 Februari 2016

Makalah - Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia (Footnote)





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perang dingin adalah sebuah era dimana terjadi konflik, ketegangan dan kompetisi antara dunia negara adidaya, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang tersebut terjadi antara tahun 1947 – 1991.  Awalnya Amerika Serikat dan Uni Soviet dulunya bersekutu melawan Jerman saat Perang Dunia II. Namun setelah perang berakhir, Amerika Serikat dan Uni Soviet mengalami perbedaan yang justru menjadi pertentangan antar kedua negara tersebut. Pertentangan demi pertentangan yang terjadi antar dua negara tersebut menimbulkan persaingan. Persaingan antar keduanya menyangkut berbagai bidang seperti bidang ekonomi, politik, koalisi militer, industri, pengembangan teknologi, pertahanan, persenjataan, dan lain-lain. Dikabarkan bahwa perang dingin ini akan berakhir dengan nuklir namun nyatanya tidak terjadi. Istilah ‘perang dingin’ itu sendiri diperkenalkan oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman asal Amerika Serikat pada tahun 1947 untuk menggambarkan ketegangan yang terjadi antara dua negara adidaya tersebut. Walau disebut perang, belum pernah terjadi  konflik terbuka antara kedua negara yang bertikai.
B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang melatarbelakangi terjadinya perang dingin?
2.      Apa sajakah faktor yang mengakhiri perang dingin?
3.      Apa dampak dari terjadinya perang dingin bagi dunia?
4.      Bagaimanakah pengaruh perang dingin terhadap indonesia?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui latar belakang terjadinya perang dingin.
2.      Mengetahui faktor-faktor berhentinya perang dingin.
3.      Mengetahui dampak dari perang dingin bagi dunia.
4.      Mengetahui pengaruh perang dingin terhadap Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Terjadinya Perang Dingin
Ada perdebatan di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19. [1]
Revolusi Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.[2] Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.[3]
Pemimpin Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi sosialis."[4] Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang keruntuhannya.[5]
Berbagai peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang kapitalisme.[6] Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia,1 pemberian dana oleh Uni Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[7] deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan,[8] tuduhan adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta,[9] penolakan Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[10] dan StalinismePeradilan Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[11]
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya. [12]
Bagaimanapun juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu. [13]
B.     Faktor Berakhirnya Perang Dingin
Perang dingin berakhir dengan beberapa faktor sebagai berikut:
1.      Reformasi Gorbachev
Setelah tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet yang kelima untuk menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.
Pada saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada tahun 1985,[14] perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an. Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna membangkitkan kembali keterpurukan Soviet. [15]
Gorbachev menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan yang mendalam dalam struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi. Perestroika memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta atas bisnis dan juga membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke pengembangan sektor sipil yang lebih produktif.[16]
Meskipun muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[17] Untuk melawan penentang reformasinya yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost, atau keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi lembaga-lembaga negara.[18] Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korups dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan kekuasaan di Komite Sentral.[19] Glasnost juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia barat khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi peningkatan détente antara kedua negara.[20]
2.      Perbaikan hubungan
Menanggapi konsesi politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan kembali perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata. Perundingan pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[21] Dalam perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah, sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50 persen.[22] Perundingan kedua, Konferensi Tingkat Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia. Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi Inisiatif Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan menolaknya.[23] Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua belah pihak berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya.[24]
Ketegangan antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun 1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush, menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua negara.[25] Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[26] Selain itu, penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan ikut campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.[27]
Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[28] dan setahun kemudian Gorbachev menyetujui reunifikasi Jerman,26 satu-satunya alternatif untuk menanggapi skenario Tianmen.[29] Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan oleh Gorbachev mulai terbentuk.[30]
Pada tanggal 3 Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev dan George H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir.[31] Setahun kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk melawan Irak.[32]
3.      Goyahnya sistem Soviet
Pada tahun 1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta Warsawa juga kehilangan kekuasaan. Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan Soviet. Bulan Februari 1990, dengan semakin memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.[33]
Pada saat yang sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri dari Soviet sepenuhnya.[34] Gelombang revolusi damai 1989 yang melanda Eropa Tengah dan Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia, Hongaria, Cekoslowakia dan Bulgaria.[35] Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur yang menggulingkan kekuasaan komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala negaranya.[36]
4.      Pembubaran Uni Soviet
Sikap permisif Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet, bahkan Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet, mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus terjadi.[37] Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan Soviet, khususnya di Rusia, yang mengancam akan memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1991, dipandang sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia, tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi.[38] Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.[39]
C.    Dampak Perang Dingin Terhadap Dunia
Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet menganggur.[40] Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[41]
Setelah berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.6 Setelah pembubaran Uni Soviet, dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar, menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.[42] Perang Dingin juga membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang Dunia II: pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki 526.000[43] tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat di Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[44] dan sekitar 130.000 terdapat di Asia (terutama di Jepang dan Korea Selatan).43 Perang Dingin juga menandai puncak pengembangan industri-militer, terutama di Amerika Serikat, dan pendanaan militer secara besar-besaran.[45] Pengembangan industri militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang bersangkutan; membantu membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan luar negeri negara tersebut.[46]
Pengeluaran militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan sekitar $ 8 triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam Perang Korea dan Perang Vietnam.[47] Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan kerugian dari pihak Soviet, namun jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka, maka biaya keuangan yang dikeluarkan oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.[48]
Selain hilangnya nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Tenggara.[49] Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut berakhir seiring dengan usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang revolusi, serta jumlah pengungsi menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[50]
Di sisi lain, konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus pasca-Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan sebagai "bahan bakar" Perang Dingin terus berlangsung di Dunia Ketiga. Kegagalan kontrol negara di sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan etnis baru, terutama di negara-negara bekas Yugoslavia. Berakhirnya Perang Dingin telah menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara. 6
D.    Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia
Setelah Perang Dunia II berakhir, muncul dua kekuatan besar di dunia yang saling bersaing dan bertentangan. Dua kekuatan tersebut adalah Amerika Serikat yang berpaham demokrasi-kapitalis dan Uni Soviet yang mengusung paham sosialis-komunis. Kedua negara tersebut berlomba-lomba menanamkan pengaruhnya di berbagai negara di dunia dengan berbagai cara mulai dari pemberian bantuan ekonomi hingga bantuan persenjataan. Persaingan kedua negara besar ini menimbulkan keprihatinan masyarakat internasional akan terjadi Perang Dunia III. Selama perebutan pengaruh itu, kedua negara tersebut tidak pernah bertemu dan berhadapan secara langsung, tapi hanya berada di belakang dengan memberikan dukungan kepada masing-masing negara yang bersengketa seperti yang terjadi pada Perang Korea, Perang Vietnam. Oleh karena itu disebut Perang Dingin.
Perang Dingin berdampak pada peta perpolitikan dunia pada saat itu. Negara-negara di dunia terbagi-bagi setidaknya menjadi tiga kelompok yaitu negara-negara Blok Barat yang menganut paham demokrasi-kapitalis, negara-negara Blok Timur yang berpaham sosialis-komunis, serta negara-negara yang tidak memihak salah satu blok pun yang sering disebut negara-negara non-blok. Negara-negara yang biasanya menjadi incaran perebutan pengaruh kedua negara tersebut adalah negara-negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.
1.      Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Masa Perang Dingin
Pada tahun 1960-an ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin pemerintah mengarahkan pandangan politiknya ke negara-negara Blok Timur yang berhaluan komunis. Hal ini disebabkan pengaruh kekuatan PKI yang saat itu mendominasi politik Indonesia. Selain itu juga disebabkan negara-negara Barat terkesan enggan memberikan bantuan ekonomi dan persenjataan dalam rangka perbaikan ekonomi dan perjuangan membebaskan Irian Barat. Puncak kedekatan Indonesia dengan Blok Timur adalah pendirian Poros Jakarta-Hanoi-Pyong Yang-Phnom Penh, menjadikan Indonesia dicap negara berhaluan komunis oleh masyarakat Internasional. Kebijakan luar negeri pada waktu itu cenderung pada konfrontasi negara-negara Barat yang dianggap sebagai simbol kolonialisme dan imperialisme.
Peristiwa pemberontakan G30S / PKI yang diduga didalangi PKI tahun 1965 menjadi titik balik perubahan arah politik Indonesia. Peristiwa G30S / PKI ini diikuti oleh pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, dari Soekarno ke Soeharto. Perubahan tampuk kekuasaan ini juga merubah halauan kebijakan luar negeri Indonesia. Komunis dinyatakan sebagai ajaran terlarang di Indonesia sehingga semua hubungan dengan negara-negara komunis diputuskan.
2.      Peran Lembaga Keuangan Internasional dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia di Masa Orde Baru.
Dibawah pemerintahan Orde Baru, setahap demi setahap bisa keluar dari keterpurukan ekonomi melalui bantuan dana negara-negara Barat. Bantuan yang didapat digunakan untuk memperbaiki ekonomi dan melakukan pembangunan dalam bentuk Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Negara-negara pemberi bantuan dana itu tergabung dalam sebuah konsorium yang dinamakan IGGI (Inter-Goverment Group on Indonesia) yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Inggris, dan sejumlah negara Eropa Barat.
Selain negara-negara tersebut, Indonesia juga mendapatkan pinjaman dana dari Bank Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan (IBRD / International Bank for Recontruction and Development) atau Bank Dunia (World Bank). Bank dunia merupakan lembaga keuangan yang mengurusi masalah-masalah yang bersifat struktural. Bank Dunia memberikan bantuan dana kepada negara-negara yang membutuhkan melalui program penyesuaian struktural (SAP / Structural Adjustment Program). Bank dunia juga berperan melakukan perombakan terhadap sektor yang dipandang penting seperti sektor industri dan perdagangan serta menyempurnakan kebijakan-kebijakan yang terkait sektor tersebut. Tujuannnya adalah untuk meliberalisas sektor-sektor tersebut dengan menyingkirkan hambatan-hambatan yang merintangi produktivitas perekonomian.
Disisi lain, untuk membenahi sektor moneter yang mengalami kekacauan pemerintah Indonesia meminta bantuan dari IMF (International Monetary  Fund). Pemerintah perlu meredam laju inflasi yang meningkat tajam de tahun 1965. IMF mempunyai tugas melakukan intervensi (campur tangan) untuk mendapatkan kembali keseimbangan neraca perdagangan. Keseimbangan neraca perdagangan dipengaruhi oleh kebijakan moneter bank sentral dan menteri keuangan. IMF memberikan saran-saran yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyehatkan perekonomiannya.
3.      Perkembangan Modal Asing Setelah Tahun 1906
Perekonomian Indonesia mulai membaik menuju ke arah stabil. Apalagi ketika perekonomian pada tahun 1970-an terjadi “krisis minyak dunia” menguntungkan Indonesia karena karena harga minyak dunia melambung tinggi. Hal ini memberikan keuntungan devisa yang berlipat ganda bagi pemerintah Indonesia. Perekonomian Indonesia mulai pulih dan beranjak stabil. Dengan cadangan devisa yang begitu besar, pemerintah berusaha mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang industri. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membangun industri besar-besaran, mengingat selama ini Indonesia hanya berfokus pada bidang pertanian, sedangkan industri belum digarap sungguh-sungguh karena keterbatasan dana.
Untuk membangun industri, pemerintah menerapkan prinsip keterbukaan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan ikut serta dalam membangun perekonomian Indonesia. Terlebih lagi setelah Orde Baru berkuasa, keamanan dalam negeri sudah stabil dipandang cocok bagi investor asing sebagai tempat berinvestasi.
Para investor asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bentuk seperti berikut :
a)      Pertambangan
Pemerintah menjalin kerja sama dengan negara-negara lain agar mau menanamkan modalnya di bidang pertambangan menggali sumber kekayaan Indonesia agar bisa menjadi devisa negara. Tercatat beberapa perusahaan dari Amerika Serikat dan Eropa tertarik membiayai penggalian dan pengolahan barang tambang di Indonesia seperti pertambangan minyak di Aceh oleh Exxon Mobile, pertambangan minyak di Riau oleh Caltex, pertambangan tembaga di Mimika, Papua oleh Freeport Indonesia, dan pertambangan emas oleh Newmont.
b)      Otomotif
Pemerintah juga membuka ketertinggalan di bidang teknologi, pemerintah juga membuka kesempatan kepada pengusaha asing untuk mengembangkan usahanya di bidang otomotif seperti produksi mobil dan motor. Perusahaan asing yang bergerak dibidang ini baru sebatas perakitan mobil dan motor dikarenakan teknologi dan prasarana yang belum endukung di Indonesia.
c)      Barang-barang Elektronik
Setelah tahun 1965, usaha dibidang barang-barang elektronik mengalami perkembangan pesat. Barang-barang elektronik seperti televisi, radio, tape recorder, tidak lagi dikatakan sebagai barang mewah sehingga permintaan terhadap barang-barang tersebut mengalami peningkatan. Untuk itu dibutuhkan perusahaan yang mampu menyuplai peermintaan yang besar. Beberapa perusahaan yang menanamkan modalnya dalam bentuk industri perakitan barang-barang elektronik diantaranya Sony, Sharp, Samsung, dan perusahan-perusahaan lainnya.
d)     Perkebunan
Untuk membangkitkan perekonomian Indonesia, pemerintah sejak tahun 1965 mulai menggenjot sektor perkebunan, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa Agraris. Upaya pembukaan perkebunan besar-besaran ini terganjal oleh masalah dana. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah mengundang investor asing untuk menggarap lahan-lahan perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara, perkebunan teh di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Sumatra.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Perang Dingin (1947–1991) adalah sebutan bagi suatu periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara satelitnya. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi di Perang Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar. Uni Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya, membentuk Blok Timur.
Perang dingin berakhir dengan beberapa faktor sebagai berikut:
1.      Reformasi Gorbachev
2.      Perbaikan hubungan
3.      Goyahnya sistem Soviet
4.      Pembubaran Uni Soviet
Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet menganggur. Sedangkan reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.
B.     Saran
Dengan penjelasan mengenai sejarah perang dingin, diharapkan masyarakat mampu mengambil manfaat dan segala hal positif dari peristiwa sejarah tersebut. Hal-hal negatif dari Perang Dingin sebaiknya dihindarkan agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Makalah Perang Dingin, [Online]. Tersedia: http://maqalah.blogspot.co.id. [27 Januari 2016]
Admin. 2015. Perang Dingin, [Online]. Tersedia: https://id.wikipedia.org. [27 Januari 2016]
Anonim. 2015. Makalah Sejarah Perang Dingin, [Online]. Tersedia: http://bacaanmenarikku.com. [27 Januari 2016]
Trauri, Andan. 2013. Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia, [Online]. Tersedia: http://crazyfrog41.blogspot.co.id. [28 Januari 2016]
Admin. 2016. Dampak Perang Dingin di Indonesia dan Dunia, [Online]. Tersedia: http://www.ilmusocial.com. [28 Januari 2016]




[1] Gaddis 1990, hlm. 57
[2] Lee 1999, hlm. 57
[3] Palmieri 1989, hlm. 62
[4] Tucker 1992, hlm. 46
[5] Tucker 1992, hlm. 47–8
[6] Halliday 2001, hlm. 2e
[7] Tucker 1992, hlm. 74
[8] Tucker 1992, hlm. 75
[9] Tucker 1992, hlm. 98
[10] LaFeber 1991, hlm. 194–197
[11] Tim Tzouliadis. The Forsaken. The Penguin Press.ISBN 978-1-59420-168-4.
[12] George C. Herring Jr., Aid to Russia, 1941–1946: Strategy, Diplomacy, the Origins of the Cold War(Columbia University Press, 1973).
[13] Gaddis 1990, hlm. 151–153
[14] Gaddis 2005, hlm. 19
[15] LaFeber 2002, hlm. 331–333
[16] Gaddis 2005, hlm. 231–233
[17] LaFeber 2002, hlm. 300–340
[18] Gibbs 1999, hlm. 7
[19] Gibbs 1999, hlm. 33
[20] Gibbs 1999, hlm. 61
[21] Gaddis 2005, hlm. 229–23
[22] 1985: "Superpowers aim for 'safer world'", BBC News, November 21, 1985. Retrieved on July 4, 2008.
[23] "Toward the Summit; Previous Reagan-Gorbachev Summits". The New York Times. May 29, 1988. Diakses tanggal June 21, 2008.
[24] "Intermediate-Range Nuclear Forces". Federation of American Scientists. Diakses tanggal June 21, 2008.
[25] Gaddis 2005, hlm. 255
[26] Shearman 1995, hlm. 76
[27] Gaddis 2005, hlm. 248
[28] Gaddis 2005, hlm. 235–236
[29] Shearman 1995, hlm. 74
[30] "Address given by Mikhail Gorbachev to the Council of Europe". Centre Virtuel de la Connaissance sur l'Europe. July 6, 1989. Diakses tanggal February 11,2007.
[31] Malta summit ends Cold War, BBC News, December 3, 1989. Retrieved June 11, 2008.
[32] Goodby, p. 26
[33] Sakwa 1999, hlm. 460
[34] Gaddis 2005, hlm. 253
[35] Lefeber, Fitzmaurice & Vierdag 1991, hlm. 221
[36] Gaddis 2005, hlm. 247
6 Halliday 2001, hlm. 2e
[37] Goldgeier, p. 27
[38] Soviet Leaders Recall ‘Inevitable’ Breakup Of Soviet Union, Radio Free Europe/Radio Liberty, December 8, 2006. Retrieved May 20, 2008.
[39] Gaddis 2005, hlm. 256–257
[40] Åslund, p. 49
[41] Nolan, pp. 17–18
[42] Country profile: United States of America. BBC News. Retrieved March 11, 2007
[43] "U.S. Military Deployment 1969 to the present".http://www.pbs.org. October 26, 2004. Diakses tanggalNovember 30, 2010.
[44] Duke, Simón (1989). United States military forces and installations in Europe. Oxford University Press. p. 175.ISBN 0-19-829132-9.
[45] Calhoun, Craig (2002). "Cold War (entire chapter)". Dictionary of the Social Sciences. Oxford University Press. ISBN 0-19-512371-9. Diakses tanggalJune 16, 2008.
6 Halliday 2001, hlm. 2e
[46] Pavelec, Sterling Michael (2009). The Military-Industrial Complex and American Society. ABC-CLIO. pp. xv–xvi. ISBN 1-59884-187-4.
[47] LaFeber 2002, hlm. 1
[48] Gaddis 2005, hlm. 213
[49] Gaddis 2005, hlm. 266
[50] Monty G. Marshall and Ted Gurr, Peace and Conflict 2005 (PDF), Center for Systemic Peace (2006). Retrieved June 14, 2008.

1 komentar: