BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Nenek moyang bangsa Indonesia meninggalkan daerah Yunan di sekitar
hulu sungai salween dan sungai mekhong untuk mencari permukiman baru di Nusantara.
Penyebab migrasi itu diperkirakan karena bencana alam dan serangan suku bangsa
lain.
Nenek moyang bangsa Indonesia termasuk dalam rumpun Austronesia.
Mereka menetap di Nusantara sehingga disebut bangsa melayu Indonesia. Perpidahan
dari Yunan ke Nusantara dilakukan dalam dua gelombang pada masa perpindahan
gelombang kedua tersebut beberapa kebuayaan yang dianggap lebih maju
dikembangkan di Nusantara. Kebudayaan yang dikembangkan dan bersentuhan dengan
kebudayaan asli Indonesia, akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
proses masuknya peradaban awal di Indonesia?
2.
Bagaimana
pengaruh kebudayaan Bascon-Hoabinh di Indonesia?
3.
Bagaimaan
pengaruh kebudayaan Dongson di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
proses masuknya peradaban awal di Indonesia.
2.
Mengetahui
pengaruh kebudayaan Bascon-Hoabinh di Indonesia.
3.
Mengetahui
pengaruh kebudyaan Dongson di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Masuknya Peradaban Awal ke Indonesia
Menurut von heine geldern bahwa, sejak tahun 2000 SM yang bersamaan dengan
zaman neolitikum sampai dengan tahun 500 SM yang bersamaan dengan zaman
perunggu mengalirlah gelombang perpindahan penduduk dari asia ke pulau-pulau di
sebelah selatan daratan asia.
Perpindahan penduduk gelombang kedua terjadi pada tahun 400-300 SM bersamaan
dengan zaman perunggu (kebudayaan dong son).
Bangsa melayu di bagi menjadi dua suku :
1.
Bangsa melayu tua
·
Termasuk orang-orang Austronesia.
·
Sekitar tahun 1500 m.
·
Melalui dua
jalur, yakni jalur barat (malaysia-sumatera) dan jalur utara/timur (filipina-sulawesi).
·
Kebudayaan batu baru
(neolitikum), contohnya kapak persegi (disebarkan melalui jalur barat) dan
kapak lonjong (disebarkan melalui jalur timur).
·
Suku bangsa Indonesia
yang termasuk keturunan bangsa melayu tua yaitu, suku dayak dan suku
toraja, batak dan papua.
2.
Bangsa melayu muda (deutro melayu)
·
Sekitar antara tahun
400-300 sm
·
Melalui jalur barat
rutenya dari Yunan (teluk tonkin), vietnam, semenanjung malaya, sumatera,
akhirnya sampai di Nusantara.
·
Hasil kebudayaan :
kapak corong, kapak sepatu, nekara,
·
Selain itu dikembangkan
juga kebudayaan megalitikum yakni, menhir, dolmen, sarkofagus, kubur batu dan
punden berundak.
·
Suku bangsa Indonesia
yang termasuk bangsa deutro melayu adalah suku jawa, melayu dan bugis.
B.
Kebudayaan Bacson-Hoabinh
1.
Sejarah
Awal Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000
SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada kala
Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunakan alat dari gerabah
yang sederhana berupa serpihan-serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami
perubahan dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak yang berfungsi sebagai
alat pemotong. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah
penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran ± 1
kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang tajam. Hasil
penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat,
segitiga dan beberapa di antaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang.
Alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia dikuburkan dalam
posisi terlipat serta ditaburi zat warna merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini
diperkirakan berkembang pada zaman Mesolitikum.
Pusat kebudayaan zaman Mesolitikum di Asia berada di dua tempat
yaitu di Bacson dan Hoabinh. Kedua tempat tersebut berada di wilayah Tonkin di
Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh pertama kali digunakan oleh arkeolog
Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut untuk
menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas
pada satu atau dua sisi permukaannya.
2.
Penyebaran
Kebudayaan Bacson-Hoabinh ke Indonesia
Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan
ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara).
Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur
Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian.
Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras
Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga
pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua ini hidup dan
tinggal di gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan bukit-bukit kerang atau
sampah dapur (kjokkenmoddinger). Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada
zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi
tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia.
Banyak benda-benda peralatan budaya dari batu yang berhasil
dikumpulkan oleh para ahli dari bukit sampah kerang di Sumatera. Sebagian besar
dari peralatan yang berhasil ditemukan berupa alat-alat batu yang
diserpih pada satu sisi dengan lonjong atau bulat lonjong.
Pada daerah Jawa, alat-alat kebudayaan batu sejenis dengan kebudayaan
Bacson-Hoabinh berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo.
Penemuan alat-alat dari batu ini dilakukan ketika penggalian untuk menemukan
fosil-fosil (tulang belulang) manusia purba. Peralatan batu yang berhasil
ditemukan memiliki usia jauh lebih tua dari peralatan batu yang ditemukan pada
bukit-bukit sampah kerang di Sumatera. Hal ini terlihat dari cara pembuatannya.
Peralatan batu yang berhasil ditemukan di daerah Lembah Sungai Bengawan Solo
(Jawa) dibuat dengan cara sangat sederhana dan belum diserpih atau diasah.
Dimana batu kali yang dibelah langsung digunakannya dengan cara menggenggam.
Bahkan menurut Von Koenigswald (1935-1941), peralatan dari batu itu digunakan
oleh manusia purba di Indonesia sejenis Pithecanthropus erectus. Dan juga berdasarkan
penelitiannya, peralatan-peralatan dari batu itu berasal dari daerah Hoabinh.
Di daerah Cabbenge (Sulawesi Selatan) berhasil ditemukan alat-alat
batu yang berasal dari kala Pleistosen dan Holosen. Penggalian dalam upaya
untuk menemukan alat- alat dari batu juga dilakukan di daerah pedalaman sekitar
Maros. Sehingga dari beberapa tempat penggalian, berhasil menemukan alat-alat
dari batu termasuk alat serpih berpunggung dan mikrolit yang dikenal dengan
Toalian. Alat-alat batu Toalian diperkirakan berasal dari 7000 tahun lalu.
Perkembangan peralatan dari batu dari daerah Maros ini diperkirakan
kemunculannya bertumpang tindih dengan munculnya tembikar di kawasan itu.
Di samping daerah-daerah tersebut di atas, peralatan batu
kebudayaan Bacson-Hoabinh juga berhasil ditemukan pada daerah-daerah seperti
daerah pedalaman Semenanjung Minahasa (Sulawesi Utara), Flores, Maluku Utara
dan daerah-daerah lain di Indonesia.
3.
Hasil-hasil
Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia
a)
Kapak
Genggam
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut
dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi
penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
b)
Kapak
Dari Tulang dan Tanduk
Di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa
Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat
dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang
bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi darialat-alat tersebut adalah untuk
mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkapikan.
c)
Flakes
Flakes berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan
flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang
dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon.
Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan
buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti
pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di
daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong
(Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi),Wangka, Soa,
Mangeruda (Flores).
d)
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter
sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di
Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat
penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan
permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis
pantai. Namun, ada beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah
berada di bawah permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan
alat-alat dari batu di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah,
sebagai akibat terjadinya proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa
millennium yang baru.
Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek
serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat. Sedangkan
kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
4.
Pengaruh
Kebudayaan Bacson-Hoabinh pada Kebudayaan Indonesia
Pengaruh budaya Bacson-Hoabinh terhadap perkembangan budaya
masyarakat awal kepulauan Indonesia merupakan suatu budaya besar yang memiliki
situs-situs temuan diseluruh daratan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap perkembangan budaya masyarakat awal
kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari
batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat
kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat
umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan
teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan
menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat,
segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh
budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah
Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal
budaya ini. Situs-situs Hoabihn di Sumatra secara khusus banyak ditemukan di
daerah pedalaman pantai Timur Laut Sumatra, tepatnya sekitar 130 km antara
Lhokseumawe dan Medan. Sebagian besar alat batu yang ditemukan adalah alat batu
kerakal yang diserpih pada satu sisi dengan bentuk lonjong atau bulat telur.
Dibandingkan dengan budaya Hoabihn yang sesungguhnya, pembuatan alat batu yang
ditemukan di Sumatra ini dibuat dengan teknologi lebih sederhana.
Ditinjau dari segi perekonomiannya, pendukung budaya Hoabihn lebih
menekankan pada aktivitas perburuan dan mengumpulkan makanan di daerah sekitar
pantai.
C.
Kebudayaan Dongson
1.
Sejarah
Awal Kebudayaan Dongson
Kebudayaan Đông Sơn adalah kebudayaan zaman Perunggu yang
berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di Asia
Tenggara, termasuk di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia.
Asal usulnya sendiri telah dicar adalah bangsa Yue-tche yang merupakan
orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM.
Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya
kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang
berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini
sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.
Pengaruh China yang berkembang pesat juga ikut memengaruhi
Kebudayaan Dongson terlebih lebih adanya ekspansi penjajahan China yang mulai
turun ke perbatasan-perbatasan Tonkin. Hal ini dilihat dari motif-motif hiasan Dongson
memberikan model benda-benda perunggu China pada masa kerajaan-kerajaan
Pendekar. Itulah sumber utama seni Dongson yang berkembang sampai penjajahan
Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM.
Kebudayaan Dongson merupakan kebudayaan perunggu yang ada di Asia
Tenggara. Daerah ini merupakan pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di
daerah ini ditemukan segala macam alat-alat perunggu, alat-alat dari besi serta
kuburan dari masa itu. Daerah ini merupakan tempat penyelidikan yang pertama.
Diperkirakan kebudayaan ini berlangsung pada tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di
kawasan Sungai Ma, Vietnam.
Kebudayaan Dongson diambil dari salah satu nama daerah di Tonkin.
Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara biasa dinamakan kebudayaan Dongson. Di
daerah ini ditemukan bermacam-macam alat yang dibuat dari perunggu. Di daerah
Tonkin itulah kebudayaan perunggu berasal.
Pengolahan logam menunjukkan taraf kehidupan yang semakin maju,
sudah ada pembagian kerja yang baik, masyarakatnya sudah teratur. Teknik
peleburan logam merupakan teknik yang tinggi. Pendukung kebudayaan ini adalah
bangsa Austronesia, juga pendukung kapak persegi.
Pembuatan benda-benda perunggu di daerah Vietnam Utara dimulai
sekitar tahun 2500 SM dan dihubungkan dengan tahap-tahap budaya Dongson dan Go
Mun. Daerah Vietnam memiliki bukti paling awal tentang pembuatan perunggu di
Asia Tenggara. Kebudayaan ini dibawa oleh masyarakat dari Dongson. Pengetahuan
mengenai perkembangan kebudayaan logam ini mulai banyak dikenal setelah Payot
mengadakan penggalian di sebuah kuburan Dongson (Vietnam) pada tahun 1924.
Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu yang telah ada sebelum tahun
500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga untuk
memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung
tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau,
kail, gelang dan lain-lain.
2.
Perkembangan
Kebudayaan Dongson ke Indonesia
Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa
peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik.
Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Indonesia yang kemudian
dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu sekitar 1000 SM sampai 1 SM.
Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dongson sangat penting karena
benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong
Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari India maupun Cina. Budaya
perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia.
Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang
dipergunakannya. Misalnya nekara, menunjukkan pengaruh yang sangat kuat. Nekara
dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua
di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dongson
serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara
yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari
penemuan itu terdapat alat-alat dari besi, meskipun jumlahnya sangat
sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dongson itu, diketahui cara
pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat
bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan
dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut.
Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil
ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di
Sumatera, Jawa, Maluku Selatan. Nekara yang penting ditemukan di wilayah Indonesia
dari pulau Sangeang dekat Sumbawa yang berisi hiasan gambar orang yang
menyerupai pakaian dinasti Han. Hiasan seperti itu diperkirakan belum dikenal
oleh penduduk pulau tempat nekara tersebut ditemukan. Heine Goldem meneliti
nekara yang ditemukan dan menyatakan bahwa nekara yang ditemukan di daerah
Sangeang diperkirakan diceak di daerah funan yang telah terpengaruh oleh budaya
india pada 250 SM. Pengamatan menarik dari Berner Kempres menunjukkan bahwa
semua nekara yang ditemukan di Bali memliki 4 patung katak pada bagian
pukulnya. Selain itu pola-pola hiasan nekara tersebut tidak begitu terpadu
antara gambar satu dengan yang lainnya. Berners kempers memberikan gambaran
cara nekara tipe heger I di cetak secara utuh. Awalnya lembaran lilin
ditempelkan pada inti tanah liat (menyerupai bentuk nekara dan berfungsi
sebagai cetakan bagian dalam), lalu di hias dengan cap-cap dari tanah liat atau
batu yang berpola hias perahu dan iring-iringan manusia. Untuk menambah hiasan
yang lebih naturalistik, seperti gambar rumah, lembaran lilin tadi langsung
ditambah goresan gambar yang dikehendakinya. Kemudian lembaran lilin yang telah
di hias itu ditutup dengan tanah liat yang barfungsi sebagai cetakan bagian
luar, setelah terlebih dahulu diberi paku-paku penjaga jarak. Setelah itu di
bakar dan lilin meleleh keluar rongga yang di tinggalkan lilin tersebut diisi
dengan cairan logam. Selain nekara, di wilayah Indonesia juga ditemukan
benda-benda perunggu lainnya seperti patung-patung, peralatan rumah tangga,
peralatan bertani maupun perhiasan-perhiasan.
3.
Kesenian
Kebudayaan Dongson
Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena
mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari
artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang
sangat rumit sekali. Perunggu adalah bahan pilihan. Benda-benda seperti kapak
dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata bajak, topangan berkaki
tiga dengan bentuk yang kaya dan indah. Kemudian gerabah dan jambangan rumah
tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan termasuk
gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari kaca dan lain-lain. Semua benda
tersebut atau hampir semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri merupakan ciri dasar
dari kesenian ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga dan spiral
yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan.
Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara Ngoc-lu
yang kini disimpan di Museum Hanoi, serta patung-patung perunggu yang sering
ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa Dongson.
4.
Agama
dan Kepercayaan Kebudayaan Dongson
Dari motif-motif yang dijumpai pada nekara yang sering
disebut-sebut sebagai nekara hujan, ditampilkan dukun-dukun atau syaman-syaman
yang kadang-kadang menyamar sebagai binatang bertanduk, menunjukkan pengaruh
China atau lebih jauhnya pengaruh masyarakat kawasan stepa. Jika bentuk ini
disimbolkan sebagai perburuan, maka ada lagi simbol yang menunujukkan kegiatan
pertanian yakni mataharidan katak (simbol air). Sebenarnya, nekara ini sendiri
dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya,
nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan
datangnya hujan.
Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam
makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup
kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang
sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki
langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan
dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan
kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta
menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk
mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan.
5.
Peninggalan
Kebudayaan Dongson
a)
Nekara
Perunggu
Nekara adalah benda yang terbuat dari perunggu berbentuk seperti
dandang yang terlungkup atau semacam kerumbung yang berpinggang pada bagian
tengah nya dan bagian atasnya tertutup. Di bagian dinding nekar terdapat
berrbagai hiasan, seperti garis-garis lurusa dan bengkok, pilin-pilin, bintang,
rumah, perahu, dan pemandangan-pemandangan seperti lukisan orang berburu dan
orang-orang yang sedang melakukan upacara tari. Nekara perunggu banyak di
temukan di Bali, Pulau Sengean dekat Sumba, Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti,
Alor (Nusa Tebggara Timur), dan Kepulauan Kei. Bentuk nekara di Indonesia Timur
umumnya lebih besar di bandingkan nekara yang di temukan di Indonesia Barat,
seperti Jawa dan Sumatra. Orang Alor menyebut jenis nekara yang lebih kecil
ukuran nya dengan nama Moko. Menurut penelitian nekara hanya digunakan pada
saat upacara-upacara ritual.
b)
Bejana
Perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti periuk tetapi Langsing dan
Gepeng. Bejana di temukan di Kerinci (Sumatra Barat) dan Madura. Keduanya
memiliki hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar
geometri dan pilin-pilin mirip huruf “j”. Bejana yang di temukan di madura
terdapat pula gambar merak dan rusa dalam Kotak Segi Tiga. Tidak diketahui
secara pasti fungsi benda ini.
c)
Arca
Perunggu
Bentuk arca (patung) beraneka ragam, seperti menggambarkan orang
sedang menari, naik kuda, dan memegang busur panah. Daerah-daerah tempat
penemuan arca seperti di daerah Bangkina (Riau), Lumajang, Bogor dan Palembang.
d)
Kapak
Corong
Kapak sepatu atau kapak corong adalah kapak yang terbuat dari
perunggu yang bagian atas nya berbentuk corong. Kapak corong di sebut juga
kapak sepatu karena bagian bentuk corong nya dipakai untuk tempat tangkai kayu
yang bentuknya menyiku seperti bentuk kaki. Kapak corong banyak ditemukan di
Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar,
dan Daerah sekitar Danau Sentani, Papua.
Jenis kapak corong bermacam-macam. Ada yang kecil dan bersahaja,
ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan
ada yang panjang suatu sisinya. Kapak corong yang panjang suatu sisinya di
sebut candras. Tidak semua kapak tersebut di gunakan sebagai perkakas, tetapi
ada juga yang di gunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara.
e)
Perhiasan
Perunggu
Perhiasan perunggu, antara lain berbentuk gelang, kalung, anting-anting,
dan cinin. Pada umumnya, barang-barang perhiasan tersebut tidak diberi hiasan
ukiran. Peninggalan ini banyak di temukan, antara lain di Anyer (Banten), Plawangan
dekat Rembang (Jawa Tengah), Gilimanuk (Bali), dan Malelo (Sumba).
BAB III
KESIMPULAN
Dari perntaan di atas dapat disimpulkan bahwa stilah Bacson-Hoabinh
pertama kali dipergunakan pada tahun 1920-an oleh seorang arkeolog Prancis yang
bernama Madeleine Colani. Kebudayaan Bacson-Hoabinh berada di dua tempat yaitu
di Bacson dan di Pegunungan Hoabinh yang keduanya merupakan nama tempat yang
ada di Tonkin Indocina (Vietnam). Kebudayaan ini berkembang pada masa Holosen
yaitu pada zaman Mesolitikum. Ciri khas alat-alat batu kebudayaan
Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali
yang berukuran ± 1 kepalan dan seringkali seluruh tepiannya menjadi bagian yang
tajam. Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh ke Indonesia bersamaan dengan
perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia. Di wilayah Indonesia, alat-alat
batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan pada daerah Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Alat-alat peninggalan
kebudayaan Bacson-Hoabinh tersebut berupa kapak genggam, kapak dari tulang dan
tanduk, flakes dan kjokkenmoddinger.
Kebudayaan Dongson berkembang pertama kali di Lembah Sungai Song
Hong atau Sungai Ma, Vietnam. Diperkirakan kebudayaan ini berlangsung pada
tahun 1500 SM-500 SM. Kebudayaan Dongson berkembang di Asia Tenggara, termasuk
di Indonesia dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Dongson merupakan pusat pertama
kalinya kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar
luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia. Hal ini terlihat dari
kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Alat-alat
peninggalan kebudayaan Dongsong berupa nekara, bejana perunggu, arca perunggu,
kapak corong, dan perhiasan perunggu.
DAFTAR PUSTAKA
Harimanto. Targiyatmi, Eko. 2011. Sejarah 1 Pembelajaran Sejarah
Kontekstual Untuk Kelas X SMA dan MA. Jatra Graphics: Solo.
Woodcutter, Budhi. 2012. Perkembangan Kebudayaan Bacson Hoabinh
dan Kebudayaan Dongson Terhadap Peradaban Masyarakay Indonesia, [Online].
Tersedia: http://budhiwoodcutter.blogspot.com.
[10 Februari 2015]
Ono, Puji. 2013. Kebudayaan Bacson Hoabinh dan Kebudayaan
Dongson, [Online]. Tersedia: http://historyedu12.blogspot.com.
[10 Februari 2015]
Redondo, Muhammad Rio. Peradaban Awal Masyarakat di Dunia dan
Pengaruhnya di Indonesia, [Online]. Tersedia: http://mrr10.blogspot.com. [10 Februari
2015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar