BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perang dingin
adalah sebuah era dimana terjadi konflik, ketegangan dan kompetisi antara dunia
negara adidaya, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perang tersebut terjadi
antara tahun 1947 – 1991. Awalnya Amerika Serikat dan Uni Soviet dulunya
bersekutu melawan Jerman saat Perang Dunia II. Namun setelah perang berakhir,
Amerika Serikat dan Uni Soviet mengalami perbedaan yang justru menjadi
pertentangan antar kedua negara tersebut. Pertentangan demi pertentangan yang
terjadi antar dua negara tersebut menimbulkan persaingan. Persaingan antar
keduanya menyangkut berbagai bidang seperti bidang ekonomi, politik, koalisi
militer, industri, pengembangan teknologi, pertahanan, persenjataan, dan
lain-lain. Dikabarkan bahwa perang dingin ini akan berakhir dengan nuklir namun
nyatanya tidak terjadi. Istilah ‘perang dingin’ itu sendiri diperkenalkan oleh
Bernard Baruch dan Walter Lippman asal Amerika Serikat pada tahun 1947 untuk
menggambarkan ketegangan yang terjadi antara dua negara adidaya tersebut. Walau
disebut perang, belum pernah terjadi konflik terbuka antara kedua negara
yang bertikai.
B.
Rumusan Masalah
Adapun masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang melatarbelakangi
terjadinya perang dingin?
2.
Apa sajakah faktor yang
mengakhiri perang dingin?
3.
Apa dampak dari terjadinya
perang dingin bagi dunia?
4. Bagaimanakah pengaruh perang dingin terhadap indonesia?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui latar belakang
terjadinya perang dingin.
2.
Mengetahui faktor-faktor
berhentinya perang dingin.
3.
Mengetahui dampak dari
perang dingin bagi dunia.
4.
Mengetahui pengaruh perang
dingin terhadap Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang
Terjadinya Perang Dingin
Ada perdebatan
di antara para sejarawan mengenai titik awal dari Perang Dingin.
Sebagian besar sejarawan menyatakan bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah
Perang Dunia II berakhir, yang lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah
dimulai menjelang akhir Perang Dunia I, meskipun ketegangan
antara Kekaisaran Rusia, negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat
sudah terjadi sejak pertengahan abad ke-19. [1]
Revolusi
Bolshevik di Rusia pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan
mundur pasukannya dari Perang Dunia I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi
dari diplomasi internasional.[2] Pemimpin Vladimir
Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet "dikepung oleh para kapitalis yang
bermusuhan", dan ia memandang diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan
Soviet dari musuh, dimulai dengan pembentukan Komintern Soviet, yang
menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.[3]
Pemimpin
Soviet Joseph Stalin, yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah
"kepulauan sosialis", menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang
"dominasi kapitalis saat ini harus digantikan oleh dominasi
sosialis."[4]
Pada awal 1925, Stalin menyatakan bahwa ia memandang politik internasional
sebagai sebuah dunia bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara
lainnya ke arah sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik
negara-negara lain ke arah kapitalisme, sementara dunia sedang berada
dalam periode "stabilisasi sementara kapitalisme" menjelang
keruntuhannya.[5]
Berbagai
peristiwa menjelang Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling
ketidakpercayaan dan kecurigaan antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas
dari filosofi umum Partai Bolshevik yang dibentuk untuk menentang
kapitalisme.[6] Ada
dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih anti-Bolshevik
dalam Perang Saudara Rusia,1 pemberian dana oleh Uni
Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926
menyebabkan Britania Raya memutuskan hubungan dengan Uni Soviet,[7] deklarasi Stalin
tahun 1927 untuk hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis
diurungkan,[8] tuduhan
adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun 1928 yang
direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta,[9] penolakan Amerika untuk
mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933,[10] dan StalinismePeradilan
Moskow untuk kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas
adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi merupakan
peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.[11]
Ketika Tentara
Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941, Sekutu mengambil
keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu Uni Soviet.
Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat membentuk
kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat
memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya. [12]
Bagaimanapun
juga, Stalin tetap mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania
dan Amerika Serikat bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung
beban terbesar dalam pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya
ini, Sekutu Barat dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua
dengan tujuan untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat
penyelesaian damai. Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan
munculnya arus ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu. [13]
B.
Faktor Berakhirnya
Perang Dingin
Perang dingin
berakhir dengan beberapa faktor sebagai berikut:
1. Reformasi Gorbachev
Setelah
tanggal 11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris
Jenderal Partai Komunis Uni Soviet yang kelima untuk
menggantikan Konstantin Chernenko yang sudah wafat.
Pada
saat Mikhail Gorbachev, yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris
Jenderal pada tahun 1985,[14] perekonomian Soviet
sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam dalam penerimaan mata uang asing
akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun 1980-an. Masalah
ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna membangkitkan
kembali keterpurukan Soviet. [15]
Gorbachev
menyatakan bahwa untuk membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan yang
mendalam dalam struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan
agenda reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi. Perestroika
memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi, kepemilikan swasta
atas bisnis dan juga membuka jalan bagi investor asing. Langkah ini dimaksudkan
untuk mengarahkan sumber daya negara dari pembiayaan militer yang mahal untuk
menunjang Perang Dingin ke pengembangan sektor sipil yang lebih produktif.[16]
Meskipun
muncul skeptisisme dari negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini
terbukti berkomitmen untuk memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk,
bukannya melanjutkan perlombaan senjata dengan Barat.[17] Untuk melawan penentang
reformasinya yang berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan
memperkenalkan glasnost, atau keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan
meningkatnya kebebasan pers dan transparansi lembaga-lembaga negara.[18] Glasnost dimaksudkan
untuk mengurangi korups dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi
penyalahgunaan kekuasaan di Komite Sentral.[19] Glasnost juga
memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia barat khususnya
dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi peningkatan détente antara
kedua negara.[20]
2. Perbaikan hubungan
Menanggapi konsesi
politik dan militer Kremlin yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan kembali
perundingan dengan Soviet terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata. Perundingan
pertama diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss.[21] Dalam perundingan
tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah, sepakat
untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50 persen.[22] Perundingan kedua, Konferensi
Tingkat Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia. Perundingan tersebut
berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah Strategi Inisiatif
Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev, namun Reagan
menolaknya.[23]
Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan ketiga pada tahun 1987, kedua
belah pihak berhasil menghasilkan terobosan dengan ditandatanganinya Traktat
Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan
semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak
dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya.[24]
Ketegangan
antara Timur dengan Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun
1989, bertempat di Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush, menandatangani
perjanjian START I, yang mengakhiri perlombaan senjata antar kedua negara.[25] Selama tahun-tahun
berikutnya, Soviet dihadapkan pada keruntuhan perekonomian yang diakibatkan
oleh turunnya harga minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer.[26] Selain itu,
penempatan militer di negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet,
dan pada tahun 1987, Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak
akan ikut campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa
Timur.[27]
Tahun 1989,
pasukan Soviet mundur dari Afganistan,[28] dan setahun kemudian
Gorbachev menyetujui reunifikasi Jerman,26 satu-satunya
alternatif untuk menanggapi skenario Tianmen.[29] Ketika Tembok
Berlin runtuh, konsep "Common European Home" yang dicetuskan
oleh Gorbachev mulai terbentuk.[30]
Pada tanggal 3
Desember 1989, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Malta, Gorbachev
dan George H. W. Bush secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin
sudah berakhir.[31]
Setahun kemudian, dua negara tersebut bermitra dalam Perang
Teluk melawan Irak.[32]
3. Goyahnya sistem Soviet
Pada tahun
1989, sistem aliansi Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya
dukungan militer dari Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta
Warsawa juga kehilangan kekuasaan. Di Uni Soviet sendiri,
kebijakan glasnost melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan
Soviet. Bulan Februari 1990, dengan semakin memuncaknya isu pembubaran Uni
Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaannya yang
telah bertahan selama 73 tahun.[33]
Pada saat yang
sama, isu kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong
negara-negara Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara
Baltik mulai menarik diri dari Soviet sepenuhnya.[34] Gelombang revolusi damai
1989 yang melanda Eropa Tengah dan Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan
komunisme Soviet di negara-negara seperti Polandia, Hongaria, Cekoslowakia dan
Bulgaria.[35]
Rumania menjadi satu-satunya negara Blok Timur yang menggulingkan kekuasaan
komunis secara keras dengan mengeksekusi kepala negaranya.[36]
4. Pembubaran Uni Soviet
Sikap permisif
Gorbachev terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet, bahkan
Bush, yang berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet,
mengutuk pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia dan Lituania. Bush
memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus
terjadi.[37]
Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal pada tahun 1991 dan
meningkatnya jumlah republikan Soviet, khususnya di Rusia, yang
mengancam akan memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran
Negara-Negara Merdeka, yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1991, dipandang
sebagai entitas penerus Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia,
tujuannya adalah untuk "memungkinkan perpisahan secara beradab"
antara republik-republik Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran
konfederasi.[38]
Uni Soviet secara resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.[39]
C.
Dampak Perang Dingin
Terhadap Dunia
Setelah Perang
Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong
pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan
warga di seluruh Uni Soviet menganggur.[40] Sedangkan reformasi
kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang
dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.[41]
Setelah
berakhir, Perang Dingin masih terus mempengaruhi dunia.6 Setelah
pembubaran Uni Soviet, dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap
sebagai dunia yang unipolar, menyisakan Amerika Serikat sebagai
satu-satunya negara adidaya di dunia.[42] Perang Dingin juga
membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang
Dunia II: pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan
memiliki 526.000[43]
tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000 terdapat
di Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat),[44] dan sekitar 130.000
terdapat di Asia (terutama di Jepang dan Korea Selatan).43 Perang
Dingin juga menandai puncak pengembangan industri-militer, terutama di Amerika
Serikat, dan pendanaan militer secara besar-besaran.[45] Pengembangan industri
militer ini memiliki dampak besar terhadap negara yang bersangkutan; membantu
membentuk kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan luar negeri negara
tersebut.[46]
Pengeluaran
militer Amerika Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan
sekitar $ 8 triliun, sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa
mereka dalam Perang Korea dan Perang Vietnam.[47] Sulit untuk memperkirakan
jumlah korban dan kerugian dari pihak Soviet, namun jika dilihat dari komparasi
produk nasional bruto mereka, maka biaya keuangan yang dikeluarkan oleh Soviet
selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh Amerika
Serikat.[48]
Selain hilangnya
nyawa warga sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas
dalam perang proksi antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia,
terutama di Asia Tenggara.[49] Sebagian besar perang
proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal turut berakhir seiring dengan
usainya Perang Dingin. Perang antar-negara, perang etnis, perang revolusi,
serta jumlah pengungsi menurun tajam pada tahun-tahun pasca-Perang Dingin.[50]
Di sisi lain,
konflik-konflik antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus
pasca-Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan
sebagai "bahan bakar" Perang Dingin terus berlangsung di Dunia
Ketiga. Kegagalan kontrol negara di sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh
pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan etnis baru, terutama di
negara-negara bekas Yugoslavia. Berakhirnya Perang Dingin telah
menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah
negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain dunia, seperti di
Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara. 6
D.
Pengaruh Perang
Dingin Terhadap Indonesia
Setelah Perang
Dunia II berakhir, muncul dua kekuatan besar di dunia yang saling bersaing dan
bertentangan. Dua kekuatan tersebut adalah Amerika Serikat yang berpaham
demokrasi-kapitalis dan Uni Soviet yang mengusung paham sosialis-komunis. Kedua
negara tersebut berlomba-lomba menanamkan pengaruhnya di berbagai negara di
dunia dengan berbagai cara mulai dari pemberian bantuan ekonomi hingga bantuan
persenjataan. Persaingan kedua negara besar ini menimbulkan keprihatinan
masyarakat internasional akan terjadi Perang Dunia III. Selama perebutan
pengaruh itu, kedua negara tersebut tidak pernah bertemu dan berhadapan secara
langsung, tapi hanya berada di belakang dengan memberikan dukungan kepada
masing-masing negara yang bersengketa seperti yang terjadi pada Perang Korea,
Perang Vietnam. Oleh karena itu disebut Perang Dingin.
Perang Dingin
berdampak pada peta perpolitikan dunia pada saat itu. Negara-negara di dunia
terbagi-bagi setidaknya menjadi tiga kelompok yaitu negara-negara Blok Barat
yang menganut paham demokrasi-kapitalis, negara-negara Blok Timur yang berpaham
sosialis-komunis, serta negara-negara yang tidak memihak salah satu blok pun
yang sering disebut negara-negara non-blok. Negara-negara yang biasanya menjadi
incaran perebutan pengaruh kedua negara tersebut adalah negara-negara di Asia
dan Afrika, termasuk Indonesia.
1. Arah Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Masa Perang Dingin
Pada tahun
1960-an ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin pemerintah
mengarahkan pandangan politiknya ke negara-negara Blok Timur yang berhaluan
komunis. Hal ini disebabkan pengaruh kekuatan PKI yang saat itu mendominasi
politik Indonesia. Selain itu juga disebabkan negara-negara Barat terkesan
enggan memberikan bantuan ekonomi dan persenjataan dalam rangka perbaikan
ekonomi dan perjuangan membebaskan Irian Barat. Puncak kedekatan Indonesia
dengan Blok Timur adalah pendirian Poros Jakarta-Hanoi-Pyong Yang-Phnom Penh,
menjadikan Indonesia dicap negara berhaluan komunis oleh masyarakat
Internasional. Kebijakan luar negeri pada waktu itu cenderung pada konfrontasi
negara-negara Barat yang dianggap sebagai simbol kolonialisme dan imperialisme.
Peristiwa
pemberontakan G30S / PKI yang diduga didalangi PKI tahun 1965 menjadi titik
balik perubahan arah politik Indonesia. Peristiwa G30S / PKI ini diikuti oleh
pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, dari Soekarno ke Soeharto.
Perubahan tampuk kekuasaan ini juga merubah halauan kebijakan luar negeri
Indonesia. Komunis dinyatakan sebagai ajaran terlarang di Indonesia sehingga
semua hubungan dengan negara-negara komunis diputuskan.
2.
Peran Lembaga Keuangan
Internasional dalam Kebijakan Ekonomi Indonesia di Masa Orde Baru.
Dibawah
pemerintahan Orde Baru, setahap demi setahap bisa keluar dari keterpurukan
ekonomi melalui bantuan dana negara-negara Barat. Bantuan yang didapat
digunakan untuk memperbaiki ekonomi dan melakukan pembangunan dalam bentuk
Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Negara-negara pemberi bantuan dana
itu tergabung dalam sebuah konsorium yang dinamakan IGGI (Inter-Goverment Group
on Indonesia) yang beranggotakan Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia
Baru, Jepang, Inggris, dan sejumlah negara Eropa Barat.
Selain
negara-negara tersebut, Indonesia juga mendapatkan pinjaman dana dari Bank
Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan (IBRD / International Bank
for Recontruction and Development) atau Bank Dunia (World Bank). Bank
dunia merupakan lembaga keuangan yang mengurusi masalah-masalah yang bersifat
struktural. Bank Dunia memberikan bantuan dana kepada negara-negara yang
membutuhkan melalui program penyesuaian struktural (SAP / Structural Adjustment
Program). Bank dunia juga berperan melakukan perombakan terhadap sektor yang
dipandang penting seperti sektor industri dan perdagangan serta menyempurnakan
kebijakan-kebijakan yang terkait sektor tersebut. Tujuannnya adalah untuk
meliberalisas sektor-sektor tersebut dengan menyingkirkan hambatan-hambatan yang
merintangi produktivitas perekonomian.
Disisi lain,
untuk membenahi sektor moneter yang mengalami kekacauan pemerintah Indonesia
meminta bantuan dari IMF (International Monetary Fund). Pemerintah perlu
meredam laju inflasi yang meningkat tajam de tahun 1965. IMF mempunyai tugas
melakukan intervensi (campur tangan) untuk mendapatkan kembali keseimbangan
neraca perdagangan. Keseimbangan neraca perdagangan dipengaruhi oleh kebijakan
moneter bank sentral dan menteri keuangan. IMF memberikan saran-saran yang
harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk menyehatkan perekonomiannya.
3. Perkembangan Modal Asing Setelah Tahun 1906
Perekonomian
Indonesia mulai membaik menuju ke arah stabil. Apalagi ketika perekonomian pada
tahun 1970-an terjadi “krisis minyak dunia” menguntungkan Indonesia karena
karena harga minyak dunia melambung tinggi. Hal ini memberikan keuntungan
devisa yang berlipat ganda bagi pemerintah Indonesia. Perekonomian Indonesia
mulai pulih dan beranjak stabil. Dengan cadangan devisa yang begitu besar, pemerintah
berusaha mengejar ketertinggalan Indonesia di bidang industri. Pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk membangun industri besar-besaran, mengingat selama
ini Indonesia hanya berfokus pada bidang pertanian, sedangkan industri belum
digarap sungguh-sungguh karena keterbatasan dana.
Untuk
membangun industri, pemerintah menerapkan prinsip keterbukaan bagi investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan ikut serta dalam membangun
perekonomian Indonesia. Terlebih lagi setelah Orde Baru berkuasa, keamanan
dalam negeri sudah stabil dipandang cocok bagi investor asing sebagai tempat
berinvestasi.
Para investor
asing menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bentuk seperti berikut :
a)
Pertambangan
Pemerintah
menjalin kerja sama dengan negara-negara lain agar mau menanamkan modalnya di
bidang pertambangan menggali sumber kekayaan Indonesia agar bisa menjadi devisa
negara. Tercatat beberapa perusahaan dari Amerika Serikat dan Eropa tertarik
membiayai penggalian dan pengolahan barang tambang di Indonesia seperti
pertambangan minyak di Aceh oleh Exxon Mobile, pertambangan minyak di Riau oleh
Caltex, pertambangan tembaga di Mimika, Papua oleh Freeport Indonesia, dan
pertambangan emas oleh Newmont.
b)
Otomotif
Pemerintah juga
membuka ketertinggalan di bidang teknologi, pemerintah juga membuka kesempatan
kepada pengusaha asing untuk mengembangkan usahanya di bidang otomotif seperti
produksi mobil dan motor. Perusahaan asing yang bergerak dibidang ini baru
sebatas perakitan mobil dan motor dikarenakan teknologi dan prasarana yang
belum endukung di Indonesia.
c)
Barang-barang Elektronik
Setelah tahun
1965, usaha dibidang barang-barang elektronik mengalami perkembangan pesat.
Barang-barang elektronik seperti televisi, radio, tape recorder, tidak lagi
dikatakan sebagai barang mewah sehingga permintaan terhadap barang-barang
tersebut mengalami peningkatan. Untuk itu dibutuhkan perusahaan yang mampu
menyuplai peermintaan yang besar. Beberapa perusahaan yang menanamkan modalnya
dalam bentuk industri perakitan barang-barang elektronik diantaranya Sony,
Sharp, Samsung, dan perusahan-perusahaan lainnya.
d)
Perkebunan
Untuk
membangkitkan perekonomian Indonesia, pemerintah sejak tahun 1965 mulai
menggenjot sektor perkebunan, mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa
Agraris. Upaya pembukaan perkebunan besar-besaran ini terganjal oleh masalah
dana. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah mengundang investor asing untuk
menggarap lahan-lahan perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit di Sumatra
Utara, perkebunan teh di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Sumatra.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
di atas dapat disimpulkan bahwa Perang Dingin (1947–1991) adalah sebutan
bagi suatu periode terjadinya
ketegangan politik dan militer antara Dunia Barat, yang
dipimpin oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, dengan Dunia Komunis, yang
dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara satelitnya. Peristiwa ini
dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi di Perang
Dunia II, yang kemudian menyisakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai dua negara
adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar.
Uni Soviet, bersama dengan negara-negara di Eropa Timur yang didudukinya,
membentuk Blok Timur.
Perang dingin
berakhir dengan beberapa faktor sebagai berikut:
1.
Reformasi Gorbachev
2.
Perbaikan hubungan
3.
Goyahnya sistem Soviet
4. Pembubaran Uni Soviet
Setelah Perang
Dingin, Rusia sebagai ahli waris utama Uni Soviet memotong
pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi ekonomi menyebabkan jutaan
warga di seluruh Uni Soviet menganggur. Sedangkan reformasi kapitalis
mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada yang dialami oleh
AS dan Jerman selama Depresi Besar.
B.
Saran
Dengan
penjelasan mengenai sejarah perang dingin, diharapkan masyarakat mampu
mengambil manfaat dan segala hal positif dari peristiwa sejarah tersebut.
Hal-hal negatif dari Perang Dingin sebaiknya dihindarkan agar tidak terjadi
lagi di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Makalah
Perang Dingin, [Online]. Tersedia: http://maqalah.blogspot.co.id.
[27 Januari 2016]
Admin. 2015. Perang
Dingin, [Online]. Tersedia: https://id.wikipedia.org.
[27 Januari 2016]
Anonim. 2015. Makalah
Sejarah Perang Dingin, [Online]. Tersedia: http://bacaanmenarikku.com. [27 Januari
2016]
Trauri, Andan.
2013. Pengaruh Perang Dingin Terhadap Indonesia, [Online]. Tersedia: http://crazyfrog41.blogspot.co.id.
[28 Januari 2016]
Admin. 2016. Dampak
Perang Dingin di Indonesia dan Dunia, [Online]. Tersedia: http://www.ilmusocial.com. [28 Januari
2016]
[9] Tucker 1992,
hlm. 98
[12] George C. Herring Jr., Aid to Russia, 1941–1946: Strategy,
Diplomacy, the Origins of the Cold War(Columbia University Press, 1973).
[15] LaFeber
2002, hlm. 331–333
[22] 1985: "Superpowers aim for 'safer
world'", BBC News, November 21, 1985. Retrieved
on July 4, 2008.
[23] "Toward the Summit; Previous
Reagan-Gorbachev Summits". The New York Times. May 29,
1988. Diakses tanggal June 21, 2008.
[24] "Intermediate-Range Nuclear Forces". Federation of American Scientists. Diakses tanggal June 21, 2008.
[30] "Address given by Mikhail Gorbachev to the
Council of Europe". Centre Virtuel de la Connaissance
sur l'Europe. July 6, 1989. Diakses tanggal February 11,2007.
[38] Soviet Leaders Recall ‘Inevitable’ Breakup Of
Soviet Union, Radio
Free Europe/Radio Liberty, December 8, 2006.
Retrieved May 20, 2008.
[43] "U.S. Military Deployment 1969 to the
present".http://www.pbs.org. October 26, 2004.
Diakses tanggalNovember 30, 2010.
[44] Duke, Simón (1989). United States military forces and
installations in Europe. Oxford University Press. p. 175.ISBN 0-19-829132-9.
[45] Calhoun, Craig (2002). "Cold War (entire chapter)". Dictionary
of the Social Sciences. Oxford University Press. ISBN 0-19-512371-9. Diakses tanggalJune 16, 2008.
[46] Pavelec, Sterling Michael (2009). The Military-Industrial Complex and
American Society. ABC-CLIO. pp. xv–xvi. ISBN 1-59884-187-4.
[50] Monty G. Marshall and Ted Gurr, Peace
and Conflict 2005 (PDF), Center for Systemic Peace (2006). Retrieved June 14,
2008.
Izin save dan membagikan, terimakasih
BalasHapus